Aliran hukum positif lahir sebagai sebuah antitesa dari teori hukum alam. Aliran hukum positif memandang perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya, das Sein dan das Sollen). Dalam kacamata positivis, tiada hukum lain kecuali perintah penguasa (a lei é um comando dos legisladores). Bahkan bagian dari Aliran Hukum Positif yang dikenal dengan nama Legisme, berpendapat lebih tegas bahwa hukum itu identik dengan undang-undang.1 Positivisme hukum dapat dibedakan dalam dua corak, yaitu 1) Aliran hukum positif analitis (Jurisprudência analítica) yang dipelopori por John Austin dan 2) Aliran hukum murni (Reine Rechtslehre) yang dipelopori por Hans Kelsen. 1. Aliran Hukum Positif Analite: John Austin (1790-1859) 2 Hukum adalah perintah dari penguasa negara. Hakikat hukum terletak pada unsur 8220perintah8221. Pihak superior menentukan apa yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. Kekuasaan dari superioritas memaksa orang lain untuk taat. Ia memberlakukan hukum dengan cara menakut-nakuti dan mengarahkan tingkah laku orang lain ke arah yang diinginkannya. Hukum adalah perintah yang memaksa, yang dapat saja bijaksana dan adil atau sebaliknya. Austin pertama-tama membedakan hukum dalam dua jenis yaitu hukum dari Tuhan untuk manusia (as leis divinas) dan hukum yang dibujem manuscrito. Mengenai hukum yang desenhado por manuscrito kemudiano dapat dibedakan lagi ke dalam hukum yang sebenarnya dan hukum yang tidak sebenarnya. Hukum dalam arti yang sebenarnya ini disebut juga dengan hukum positif meliputi hukum yang dibujo oleh penguasa dan hukum hukum yang disusun oleh manusiana secara indivíduo untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Hukum yang tidak sebenarnya adalah hukum yang tidak desenhado por penguasa, sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum. Hukum yang sebenarnya memiliki empat unsur yaitu: a. Perintah (comando) b. Sanksi (sanção) c. Kewajiban (dever) dan d. Kedaulatan (soveregnity). 2. Aliran Hukum Murni: Hans Kelsen (1881-1973) Menurut Hans Kelsen, hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir yang não-yuridis, seperti unsursosiologis, politis, historis, bahkan etis. Pemikiran inilah yang dikenal dengan Teori Hukum Murni (Reine Rechtlehre) por Hans Kelsen. Jadi hukum adalah suatu Sollenskategorie (kategori keharusanideal), bukan Seinskategorie (kategori faktual). Hukum adalah suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk rasional. Dalam hal ini yang dipersoalkan oleh hukum bukanlah 8220bagaimana hukum itu seharusnya8221 (o que a lei deveria ser), tetapi 8220apa hukumnya8221 (o que é a lei). Dengan demikian, walaupun hukum itu Sollenskategorie. Yang dipakai adalah hukum positif (Ius Constitutum), bukan yang dicita-citakan (Ius Constituendum). 3 Menurut Friedman, esensi ajaran Hans Kelsen adalah sebagai berikut: 4 Tujuan teori hukum seperti halnya ilmu adalah untuk mengurangi kekalutan serta meningkatkan kesatuan Teori hukum adalah ilmu, dan bukan kehendak. Ia adalah pengetahuan tentang hukum yang ada, dan bukan tentang hukum yang seharusnya ada Ilmu hukum adalah normatif dan bukan ilmu alam Teori hukum sebagai suatu teori tentang norma-norma, tidaklah berurusan dengan persoalan efektivitas norma-norma hukum Suatu teori tentang hukum sifatnya formal, merupakan Suatu teori tentang cara pengaturan dan isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola yang spesifik serta Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah sama halnya dengan hubungan antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada. Referensi 1 Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonésia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995, hlm. 113-114. 2 Ibid, hlm. 114-115. 3 Ibid, hlm, 115. 4 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum (Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan e Bermartabat. Jakarta: Rajawali Pers, 2017, hlm. 112.Auguste Comte merupakan sosok filosof besar dan cukup Berpengaruh bagi perkembangan technoscience. Dimana dia merupakan penggagas dari aliran Positivisme. Yaitu sebuah aliran filsafat Barat yang timbul pada abad XIX dan merupakan kelanjutan dari empirisme. Aliran positivisme ini merupakan aliran produk pemikiran Auguste Comte yang cukup berpengaruh bagi peradaban manusia. Aliran Positivisme ini kemudian di Abad XX dikembangluaskan por filosof kelompok Wina dengan alirannya Neo-Positivisme (Positivisme-Logis). 1 Sejarah telah melukiskan bahwa masalah perolehan pengetahuan menjadi problema aktual yang melahirkan aliran Rasionalisme dan Empirisme yang pada gilirannya telah melahirkan aliran Kritisisme sebagai alternativo dan solusi terhadap pertikaian dua aliran Besar tersebut. Arte de Disinilah I penting dari kemunculan Positivisme yang merupakan representasi jawaban berikutnya terhadap problema-problema mendasar tersebut. Riwayat Hidup Auguste Comte Auguste Comte merupakan filosof de warga negara Perancis yang hidup di abad ke-19 setelah revolusi Perancis yang terkenal itu. Ia lahir di Montpellier, Perancis, pada tanggal 19 Januari 1798. Ia belajar di sekolah Politeknik di Paris, tetapi ia dikeluarkan karena ia seorang pendukung Republik, sedangkan sekolahnya justru royalistis. 2 Auguste Comte menerima dan mengalami secara langsung akibat-akibat negatif secara langsung revolusi tersebut khususnya dibidang sosial, ekonomi, politik, dan pendidikan. Pengalaman pahit yang dilalui dan dialaminya secara langsung bersama bangsanya itu, memotivaisi dirinya untuk memberikan alternativo dan solusi ilmiah-filosofis dengan mengembangkan epistemologi dan metodologi sebagaimana buah pikirannya itu tercermin di dalam aliran Positivisme. Aliran ini menjadi berkembang dengan subur karena didukung oleh para elit-ilmiah dan maraknya era industrialisasi saat itu. 3 Comte bukanlah orang yang menyukai hal-hal yang berbau matematika, tetapi lebih cuidado pada masalah-masalah sosial dan kemanusiaan. Bersama dengan Henry de8217Saint Simon, 4 comte mencoba mengadakan kajian problema-problema sosial yang diakibatkan industrialisasi. Karena ketekunan dan kepiawaiannya dalam bidang-bidang sosial menjadikan Comte sebagai bapak sosiologi. Meskipun Comte tidak menguraikan secara lebih rinci masalah apa yang menjadi obyek sosiologi, tetapi ia mempunyai asumsi bahwa sosiologi terdiri dari dua hal, yaitu sosial statis dan sosial dinamis. Menurut Comte, sebagai sosial statis sosiologi merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang mempelajari timbal balik antara lembaga kemasyarakatan. Sedangkan sosial dinamis melihat bagaimana lembaga-lembaga tersebut berkembang. 5 Dasar pemikiran Comte diperoleh secara inspiratif de Saint Simon, Charles Lyell, e Charles Darwin. Selain dari itu, pemikiran Herbert Spencer mengenai 8220hukum perkembangan8221 juga mempengaruhi pemikirannya. Kata 8220rasional8221 bagi Comte terkait dengan masalah yang bersifat empirik dan positif yakni pengetahuan riil yang diperoleh melalui observasi (pengalaman indrawi), eksperimentasi, komparasi, dan generalisasi-induktif diperoleh hukum yang sifatnya umum sampai kepada suatu teori. Karena itulah maka bagi positivisme, tuntutan utama adalah pengetahuan faktual yang dialami oleh subjek, sehingga kata rasional bagi Comte menunjuk peran utama dan penting rasio untuk mengolah fakta menjadi pengalaman. Berdasarkan atas pemikiran yang demikian itu, maka sebagai konsekuensinya metode yang dipakai adalah 8220Induktif-verifikatif8221. 6 Setelah tulisan-tulisannya mulai beredar, Comte menjadi terkenal di seluruh Eropa bahkan melebihi ketenaran 8220sang majikan8221 Henry de8217Saint Simon. Namun begitu, selama hidup ia tidak pernah diberi kesempatan untuk mengajar di Universitas. Comte juga senantiasa hidup dalam kemiskinan. Hal ini karena pekerjaannya sebagai pengarang dan guru pribadi tidak cukup untuk hidup. Hanya berkat sumbangan-sumbangan pengikutnya, antara lain dari Fiosof Inggris John Stuart Mill, ia bisa makan. 7 Auguste Comte meninggal pada tahun 1857 dengan meninggalkan karya-karya seperti Cours de Filosofia Possível, o Sistem da Polícia Positiva, os Laboratórios Científicos Necessários para o Reconhecimento da Sociedade, e a Síntese Subjetiva. 8 Auguste Comte amp Hukum Tiga Tahap Di antara karya-karyanya Auguste Comte, Cours de Philosphie Possível dapat dikatakan sebagai masterpiece - nya, karena karya itulah yang paling pokok dan sistematis. Buku ini dapat juga dikatakan sebagai representasi bentangan aktualisasi dari yang di dalamnya Comte menulis tentang tiga tahapan perkembangan manusia. Menurut Comte, perkembangan manusia berlangsung dalam tiga tahap. Pertama, tahap teologis, kedua, tahap metafisik, ketiga, tahap positif. 1. Tahap Teologis Pada tahap teologis ini, manuscrito percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia. Tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan lebih tinggi dari pada makhluk-makhluk selain insani. Pada taraf pemikiran ini terdapat lagi tiga tahap. Pertama, tahap yang paling bersahaja atau primitif, dimana orang menganggap bahwa segala benda berjiwa (animisme). Kedua, tahap ketika orang menurunkan kelompok hal-hal tertentu, dimana seluruhnya diturunkan dari suatu kekuatan adikodrati yang melatarbelakanginya sedemikian rupa hingga tiap tahapan gejala-gejala memiliki dewa sendiri-sendiri (polytheisme). 9 Gejala-gejala 8220suci8221 dapat disebut 8220dewa-dewa8221, dan 8220dewa-dewa8221 ini dapat diatur dalam suatu sistem, sehingga menjadi politeisme dengan spesialisasi. Ada dewa api, dewa lautan, dewa angin, dan seterusnya. 10 Ketiga. Adalah tahapan tertinggi, dimana pada tahap ini orang mengganti dewa yang bermacam-macam itu dengan satu tokoh tertinggi (esa), yaitu dalam monotheisme. 11 Singkatnya, pada tahap ini manusia mengarahkan pandangannya kepada hakekat yang batiniah (sebab pertama). Di sini, manuscrito percaya kepada kemungkinan adanya sesuatu yang mutlak. Artinya, di balik setiap kejadian tersirat adanya maksud tertentu. 12 2. Tahap Metafisik Tahap ini bisa juga disebut sebagai tahap transisi dari pemikiran Comte. Tahapan ini sebenarnya hanya merupakan varian dari cara berpikir teologis, karena di dalam tahap ini dewa-dewa hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak, dengan pengertian atau dengan benda-benda lahiriah, yang kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum, yang disebut dengan alam. Terjemahan metafisis dari monoteisme itu misalnya terdapat dalam pendapat bahwa semua kekuatan kosmis dapat disimpulkan dalam konsep 8220alam8221, sebagai asal mula semua gejala. 13 Parei tahap positif, orang tahu bahwa tiada gunanya lagi untuk berusaha mencapai pengenalan atau pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan teologis maupun metafisik. Ia tidak lagi mau mencari asal dan tujuan terakhir seluruh alam semesta ini, atau melacak hakekat yangotteti 8220segala sesuatu8221 yang berada di belakang segala sesuatu. Sekarang orang berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta yang desajikan kepadanya, yaitu dengan 8220pengamatan8221 dan dengan 8220memakai akalnya8221. Pada tahap ini pengertian 8220menerangkan8221 berarti fakta-fakta yang khusus dihubungkan dengan suatu fakta umum. Dengan demikian, tujuan tertinggi, dari tahap positif ini adalah menyusun dan dan mengatur segala gejala di bawah satu fakta yang umum. 14 Bagi comte, ketiga tahapan tersebut tidak hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi di bidang ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, comte menerangkan bahwa segala ilmu pengetahuan semula dikuasai oleh pengertian-pengertian teologis, sesudah itu dikacaukan dengan pemikiran metafisis dan akhirnya dipengaruhi hukum positif. Jelasnya, ketiga tahapan perkembangan umat manusia itu tidak saja berlaku bagi suatu bangsa atau suku tertentu, akan tetapi juga individu dan ilmu pengetahuan. Meskipun seluruh ilmu pengetahuan tersebut dalam perkembangannya melalui ketiga macam tahapan tersebut, namun bukan berarti dalam waktu yang bersamaan. Hal demikian dikarenakan segalanya tergantung pada kompleksitas susunan suatu bidang ilmu pengetahuan. Semakin kompleks susunan suatu bidang ilmu pengetahuan tertentu, maka semakin lambat mencapai tahap ketiga. Lebih jauh Comte berpendapat bahwa pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan manusia yang disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Di sini, ilmu pengetahuan dapat dikatakan bersifat positif apabila ilmu pengetahuan tersebut memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang nyata dan kongrit. Dengan demikian, maka ada kemungkinan untuk memberikan penilaian terhadap berbagai cabang ilmu pengetahuan dengan jalan mengukur isinya yang positif, serta sampai sejauh mana ilmu pengetahuan tersebut dapat mengungkapkan kebenaran yang positif. 15 Sesuai dengan pandangan tersebut kebenaran metafisik yang diperoleh dalam metafisika ditolak, karena kebenarannya sulit dibuktikan dalam kenyataan. Demikianlah pandangan Auguste Comte tentang hukum tiga tahapnya, yang pada intinya menyatakan bahwa pemikiran tiap manusia, tiap ilmu dan suku bangsa melalui 3 tahap, yaitu teologis, metafisis dan positif ilmiah. Dalam hal ini Auguste Comte memberikan analógico manuscrito muda atau suku-suku primitif pada tahap teologis sehingga dibutuhkan figur dewa-dewa untuk 8220menerangkan8221 kenyataan. Meningkat remaja dan mulai dewasa dipakai prinsip-prinsip abstrak dan metafisis. Pada tahap dewasa dan matang digunakan metode-metode positif e ilmiah. 16 Positivisme Auguste Comte Filsafat positivisme merupakan salah satu aliran filsafat moderno yang lahir pada abad ke-19. Dasar-dasar filsafat ini dibangun por Saint Simon dan dikembangkan por Auguste Comte. Adapun yang menjadi tititk tolak dari pemikiran positivis ini adalah, apa yang telah diketahui adalah yang faktual dan positif, sehingga metafisika ditolaknya. Di sini, yang dimaksud dengan 8220positif8221 adalah segala gejala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman obyektif. Jadi, setelah fakta diperoleh, fakta-fakta tersebut diatur sedemikian rupa agar dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan. 17 Sebenarnya, tokoh-tokoh aliran ini sangat banyak. Namun begitu, Auguste Comte dapat dikatakan merupakan tokoh terpenting dari aliran filsafat Positivisme. Menurut Comte, dan juga para penganut aliran positivisme, ilmu pengetahuan tidak boleh melebihi fakta-fakta karena positivisme menolak metafisisme. Bagi Comte, menanyakan hakekat benda-benda atau penyebab yang sebenarnya tidaklah mempunyai arti apapun. Oleh karenanya, ilmu pengetahuan dan juga filsafat hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta. Dengan demikian, kaum positivis membatasi dunia pada hal-hal eang bisa dilihat, diukur, dianalisa dan yang dapat dibuktikan kebenarannya. 18 Dengan modelo pemikiran seperti ini, kemudian Auguste Comte mencoba mengembangkan Positivisme ke dalam agama atau sebagai pengganti agama. 19 Hal ini terbukti dengan didirikannya Sociedades positivas di berbagai tempat yang memuja kemanusiaan sebagai ganti memuja Tuhan. Perkembangan selanjutnya dari aliran ini melahirkan aliran yang bertumpu kepada isi dan fakta-fakta yang bersifat materi, yang dikenal dengan Materialisme. 20 Selanjutnya, karena agama (Tuhan) tidak bisa dilihat, diukur dan dianalisa serta dibuktikan, maka agama tidak mempunyai arti dan faedah. Comte berpendapat bahwa suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan itu sesuai dengan fakta. Sebaliknya, sebuah pernyataan akan dianggap salah apabila tidak sesuai dengan dados empiris. Contoh misalnya pernyataan bahwa api tidak membakar. Modelo pemikiran ini dalam epistemologi disebut dengan teori Korespondensi. Keberadaan (existência) sebagai masalah sentral bagi perolehan pengetahuan, mendapat bentuk khusus bagi Positivisme Comte, yakni sebagai suatu yang jelas dan pasti sesuai dengan makna yang terkandung di dalam kata positif. Kata nyata (riil) dalam kaitannya dengan positif bagi suatu objek pengetahuan, menunjuk kepada hal yang dapat dijangkau atau tidak dapat dijangkau oleh akal. Adapun yang dapat dijangkau oleh akal dapat dijadikan sebagai objek ilmiah, sedangkan sebaliknya yang tidak dapat dijangkau oleh akal, maka tidak dapat dijadikan sebagai objek ilmiah. Kebenaran bagi Positivisme Comte selalu bersifat riil dan pragmatik artinya nyata dan dikaitkan dengan kemanfaatan, dan nantinya berujung kepada penataan atau penertiban. 21 Oleh karenanya, selanjutnya Comte beranggapan bahwa pengetahuan yang demikian itu tidak bersumber dari otoritas misalnya bersumber dari kitab suci, atau penalaran metafisik (sumber tidak langsung), melainkan bersumber dari pengetahuan langsung terhadap suatu objek secara indrawi. Dari modelo pemikiran tersebut, akhirnya Comte menganggap bahwa garis demarkasi antara sesuatu yang ilmiah dan tidak ilmiah (pseudo ciência) adalah veriviable. (Significado e sem significado), iam melakukan verifikasi terhadap suatu gejala dengan gejala-gejala yang lain untuk sampai kepada kebenaran yang dimaksud....................................................... 22 Dan sebagai konsekwensinya, Comte menggunakan metode ilmiah Induktif-Verivikatif. Yakni sebuah metode menarik kesimpulan dari sesuatu yang bersifat khusus ke umum, kemudian melakukan verifikasi. Selanjutnya Comte juga menggunakan pola operasional metodologis dalam bentuk observasi, eksperimentasi, komparasi, dan generalisasi-induktif Singkatnya, filsafat Comte merupakan filsafat yang anti-metafisis, dimana dia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif-ilmiah, dan menjauhkan diri sem pera pertanyaan Yang mengatasi bidang ilmu-ilmu positif. Semboyan Comte yang terkenal adalah saber para prevoir (mengetahui supaya siap untuk bertindak), artinya manusus harus menyelidiki gejala-gejala de hubungan-hubungan antara gejala-gejala, agar supaya dia dapat meramalkan apa yang akan terjadi. 23 Filsafat positivisme Comte juga disebut sebagai faham empirisme-kritis, bahwa pengamatan dengan teori berjalan seiring. Bagi Comte pengamatan tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan penafsiran atas dasar sebuah teori dan pengamatan juga tidak mungkin dilakukan secara 8220terisolasi8221, dalam arti harus dikaitkan dengan suatu teori. 24 Dengan demikian positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek diluar fakta, menolak segala penggunaan metoda di luar yang digunakan untuk menelaah fakta. Atas kesuksesan teknologi industri abad XVIII, positivisme mengembangkan pemikiran tentang ilmu pengetahuan universal bagi kehidupan manusia, sehingga berkembang etika, politik, dan lain-lain sebagai disiplin ilmu, yang tentu saja positivistik. Positivisme mengakui eksistensi dan menolak esensi. Ia menolak setiap definisi yang tidak bisa digapai oleh pengetahuan manusia. Bahkan ia juga menolak nilai (valor). 25 Apabila dikaitkan dengan ilmu sosial budaya, positivisme Auguste Comte berpendapat bahwa (a) gejala sosial budaya merupakan bagian dari gejala alami, (b) ilmu sosial budaya juga harus dapat merumuskan hukum-hukum atau generalisasi-generalisasi yang mirip dalil hukum alam, (c ) Berbagai prosedur serta metode penelitian dan analisis yang ada dan telah berkembang dalam ilmu-ilmu alam dapat dan perlu diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial budaya. Sebagai akibat dari pandangan tersebut, maka ilmu sosial budaya menjadi bersifat preditivo e explicativo sebagaimana halnya dengan ilmu alam dan ilmu pasti. Generalisasi-generalisasi tersebut merangkum keseluruhan fakta yang ada namun sering kali menegasikan adanya 8220contra-mainstream8221. Manusia, masyarakat, dan kebudayaan dijelaskan secara matematis dan fisis. 26 Demikianlah beberapa pemikiran Auguste Comte tentang tiga tahapan perkembangan manuscrito dan juga bagaimana positivisme Auguste Comte memandang sumber ilmu pengetahuan. Positivisme Auguste Comte mengemukakan tiga tahap perkembangan peradaban dan pemikiran manusia ke dalam tahap teologis, metafisik, dan positivistik. Pada tahap teologis pemikiran manuscrito dikuasai oleh dogma agama, pada tahap metafisik pemikiran manuscrito dikuasai por filtrado, sedangkan pada tahap positivistik manuscrito sudah dikuasai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada tahap ketiga itulah aspek humaniora dikerdilkan ke dalam pemahaman positivistik yang bercorak eksak, terukur, dan berguna. Ilmu-ilmu humaniora baru dapat dikatakan sejajar dengan ilmu-ilmu eksak manakala menerapkan metode positivistik. Di sini mulai terjadi metodolatri. Pendewaan terhadap aspek metodologis. Selain itu, modelo filsafat positivisme-nya Auguste Comte tampak begitu mengagungkan akal dan panca indera manuscrito sebagai tolok ukur 8220kebenaran8221. Sebenarnya 8220kebenaran8221 sebagai masalah pokok pengetahuan manusia adalah bukan sepebuhnya milik manusia. Akan tetapi hanya merupakan kewajiban manuscrito untuk berusaha menghampiri dan mendekatinya dengan 8220cara tertentu8221. Kata cara tertentu me r ujuk pada pemikiran Karl Popper mengenai 8220kebenaran8221 dan sumber diperolehnya. Bagi Popper, ini merupakan tangkapan manusia terhadap objek melalui rasio (akal) dan pengalamannya, namun selalu bersifat tentatif. Artinya kebenaran selalu bersifat sementara yakni harus dihadapkan kepada suatu pengujian yang ketat dan gawat (crucial-teste) dengan cara pengujian 8220trial e error8221 (proses penyisihan terhadap kesalahan atau kekeliruan) sehingga 8220kebenaran8221 se1alu dibuktikan melalui jalur konjektur dan refutasi dengan tetap konsisten berdiri di atas landasan Pemikiran Rasionalisme-kritis dan Empirisme-kritis. Atau dengan meminjam dialektika-nya Hegel, sebuah 8220kebenaran8221 akan selalu mengalami proses tesis, sintesis, dan anti tesis, dan begitu seterusnya. Pandangan mengenai 8220kebenaran8221 yang demikian itu bukan berarti mengisyaratkan bahwa Penulis tergolong penganut Relativisme, karena menurut hemat Penulis, Relativisme sama sekali tidak mengakui 8220kebenaran8221 sebagai milik dan tangkapan manuscrito terhadap suatu objek. Penulis berkeyakinan bahwa manuscrito mampu menangkap dan menyimpan 8220kebenaran8221 sebagaimana yang diinginkannya serta menggunakannya, namun bagi manusia, 8220kebenaran8221 selalu bersifat sementara karena harus selalu terbuka untuk dihadapkan dengan pengujian (falsifikasi). Dan bukanlah verifikasi seperti apa yang diyakini por Auguste Comte. Hal demikian karena suatu teori, hukum ilmiah atau hipotesis tidak dapat diteguhkan (diverifikasikan) secara positif, melainkan dapat disangkal (difalsifikasikan) Jelasnya, untuk menentukan 8220kebenaran8221 itu bukan perlakuan verifikasi melainkan melalui proses falsifikasi dimana data-data yang telah diobservasi, dieksperimentasi, dikomparasi dan Di generalisasi-induktif berhenti sampai di situ karena telah dianggap benar dan baku (positif), melainkan harus dihadapkan dengan pengujian baru. Maksum, Ali, et. al. Paradigma Pendidikan Universal di Era Moderna e Pós-Moderna Mencari 8220Visi Baru8221 atas 8220Realitas Baru8221 Pendidikan Kita, Yogyakarta: IRCiSoD, 2004 Wibisono, Koento, Arti Perkembangan menurut Positivisme Comte. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Cet. II, 1996 Azis, Ichwan Supandi. Karl Raimund Popper e Auguste Comte Suatu Tinjauan Tematik Problema Epistemologi de Metodologi. Yogyakarta: Jurnal Filsafat, Jilid 35, Nomor 3, Desember 2003, Soekanto, Soejono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jacarta: Raja Grafindo Persada, 2000 Deltgauw, Bernard, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992 Bertens, K. Filsafat Barat Dalam Abad XX. Jilid I, Jakarta: Gramedia 1981 Hammersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jacarta: Gramedia, 1983 Akhmadi, Asmoro, Filsafat Umum, Jacarta: RajaGrafindo Persada, Cet. IV, 2001 Biyanto, 8220Hubungan Agama dan Filsafat di Barat Sebuah Survei Sejarah Lintas Periode8221 dalam geocitiesHotSprings6774j-18.html Lihat 8220Fenomenologi, Hermeneutika dan Positivisme8221 dalam veggy. wetpaint. CompageFenomenologi, HermeneutikadanPositivisme 1 Ali Maksum, et. al. Paradigma Pendidikan Universal di Era Moderna e Pós-Moderna Mencari 8220Visi Baru8221 atas 8220Realitas Baru8221 Pendidikan Kita, Yogyakarta: IRCiSoD, 2004, hlm. 77 2 Koento Wibisono, Arti Perkembangan menurut Positivisme Comte. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Cet. II, 1996, hlm 5 3 Ichwan Supandi Azis. Karl Raimund Popper e Auguste Comte Suatu Tinjauan Tematik Problema Epistemologi de Metodologi. Yogyakarta: Jurnal Filsafat, dezembro de 2003, Jilid 35, Nomor 3, hlm. 254 4 Henry de8217Saint Simon adalah seorang bangsawan sekaligus salah seorang filosof termasyhur di Perancis waktu itu dan Auguste Comte pernah menjadi sekretaisnya. 5 Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jacarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 443 6 Ichwan Supandi Azis, Loc. Cit. 18 Ali Maksum, et. al. Op. Cit. Hlm. 82 19 Sebagai catatan, pada akhir hidupnya, Auguste Comte bahkan berupaya membangun agama baru tanpa teologi atas dasar filsafat positifnya. 8220Agama8221 baru tanpa teologi ini mengagungkan akal dan mendambakan kemanusiaan dengan sumboyan 8220cinta sebagai prinsip, teratur sebagai base, dan kemajuan sebagai tujuan.8221 Dan sebagai istilah ciptaannya yang terkenal adalah altruísmo. Yaitu menganggap bahwa soal utama bagi manuscrito ialah usaha untuk hidup bagi kepentingan orang lain. Lihat Asmoro Akhmadi, Loc. Cit. 20 Lihat Biyanto, 8220Hubungan Agama dan Filsafat di Barat Sebuah Survei Sejarah Lintas Periode8221 dalam geocitiesHotSprings6774j-18.html 21 Koento Wibisono, Op. Cit., Hlm. 38 22 K. Bertens. Filsafat Barat Dalam Abad XX. Jilid I, Jakarta: Gramedia 1981, hlm. 171 23 Hammersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jacarta: Gramedia, 1983, hlm. 3 et. seq. 24 Kunto Wibisono, Op. Cit. Hlm. 48 25 Lihat 8220Fenomenologi, Hermeneutika dan Positivisme8221 dalam veggy. wetpaintpage
No comments:
Post a Comment